Tulisan dan Foto | Siti Chadijah

 

Pameran merupakan salah satu media komunikasi yang digunakan praktisi di bidang tertentu untuk menyampaikan buah pikiran dan menampilkan karya terbaru yang dihasilkan. Selain itu, pameran juga dapat dijadikan sebagai wahana mengampanyekan suatu isu yang ingin disuarakan. Setahun lebih pascapandemi Covid 19, kehadiran pameran luring (onsite) terasa menjad ibahan bakar bagi api semangat berkarya para pelaku seni dan desain. Dikawasan Jakarta Raya ramai hajatan seni, budaya, dan desain berlangsung dalam waktu yang hampir bersamaan, mulai dari Jakarta Biennale yang mengusung kolektif seni seantero negeri, Bintaro Design District (BDD) yang rutin diselenggarakan setiap tahun, serta Indonesia Contemporary Art and Design yang memasuki tahun ke-14 tahun pelaksanaannya. Mari kita menelusuri dan membaca arus seni, desain serta budaya melalui para pelaku muda yang ditawarkan melalui lensa ketiga pameran ini.

 

Mengamati

Jakarta Biennale | Galleri Emiria Soennasa dan S. Sudjojono, Taman Ismail Marzuki, Cikini

Gelaran Jakarta Biennale (atau popular dengan Jak Biennale) merayakan 50 tahun eksistensinya. Meski sejak 1974 tidak selalu rutin dua tahun sekali, upaya konsistensi Jak Biennale sebagai sebuah jembatan bagi para seniman Jakarta dalam menampilkan karya patut diapresiasi. Eksposur yang ditampilkan pada Jak Biennalle tahun ini seperti menemukan peta baru arah berkesenian. Bukan lagi menjadi media showcase bagi para seniman tunggal, kali ini Jak Biennale mengajak kita mengenal dan berinteraksi dengan kehadiran para seniman yang berkiprah ddi dalam komunitas atau kolektif seni.

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merangkul para pelaku seni yang tergabung di berbagai kolektif seni dari seluruh Indonesia bersama ekosistem seni Jakarta dan digerakkan oleh kolektif-kolektif seni yang tergabung di dalam Majelis Jakarta. Pameran kali ini berkolaborasi pula dengan Lab Indonesiana: Baku Konek, sebuah program residensi memberi ruang bagi karya kolaborasi di 11 titik kolektif seni mulai dari Aceh hingga Papua. Kolektif seni tersebut yaitu Yayasan Pasir Putih di Lombok, Komunitas Kahe di Maumere, Komunitas Sikukeluang di Pekanbaru, Komunitas Susur Galur di Pontianak, Komunitas Tudgam di Kuningan, Komunitas Riwanua di Makassar, Rumah Cikaramat di Sukabumi, Alyakha Art Center di Sentani, Forum Sudut Pandang di Palu, dan Gudskul Ekosistem di Jakarta. Terdapat 18 seniman terpilih yang disebar untuk residensi dan berkarya bersama di kolektif seni tersebut.

Beberapa karya kolektif seni di Jak Bienalle

 

Bintaro Design District | Scala Design dan The Mawi Garage

Acara tahunan Bintaro Design District (BDD) kembali menjadi digelar sebagai jembatan bagi para desainer, arsitek, dan seniman yang aktif berkarya dengan masyarakat umum. Sejak pertama kali digelar pada tahun 2018, BDD kerap mengaktivasi ruang-ruang di di sekitar area Jakarta dan Tangerang Selatan, baik studio kreatif, firma desain, workshop seni, maupun creative space dan ruang publik yang diekspose untuk merayakan tumbuh pesatnya kreativitas di area tersebut. Selain menjadi basis bagi para praktisi, ajang ini juga ramai dikunjungi oleh para mahasiswa desain, seni, dan arsitektur. Pasalnya gelaran ini juga menjadi ajang berkumpul para insan dan komunitas kreatif dari berbagai aliran.

Mengangkat tema “Analog Reality”, BDD tahun ini mengandung pesan untuk kembali kepada sentuhan manusia. Karya-karya yang ditampilkan mengedepankan sentuhan berbasis “manusia”. Ini terlihat dari karya-karya yang ditampilkan, selain mengangkat kebaruan dalam pemikiran desain, beberapa di antaranya juga menyuarakan kegelisahan pada urgensi desain di masa kini.

Salah satu yang menarik perhatian adalah instalasi dan studio tour dari Scala Design. Studio arsitektu yang bertempat di Jalan Bunga Mayang II, Bintaro ini mengangkat isu-isu lain dari tubuh arsitektur selain bangunan fisik. Scala Design mencoba mengangkat isu air dalam hunian dan bagaimana kita mengelolanya. Menariknya, tanpa kita sadari ada sumber air yang selama ini dengan mudah kitab uang padahal memiliki kualitas yang cukup baik untuk kebutuhan sehari-hari yakni air buangan dari pendingin ruangan (Air Conditioner/ AC). Mereka juga mengkritisi daur air melalui instalasi “Cucur Banyu” yang disajikan di pelataran depan studio mereka. Pada sudut lainnya, Scala juga mengekspose bagaimana pendekatan yang mereka lakukan pada setiap proyek yang mereka tangani. Seperti proyek sebuah pesantren di Jawa Barat yang pada akhirnya berhasil menyelaraskan bentuk kawasan hunian dengan aliran air di sekitarnya.

Instalasi dan Sudut yang ditemui di Scala Design

Bergeser 15 km dari Scala Design, showcase lainnya yang juga menarik adalah bertempat di The Mawi Garage, Graha Raya Bintaro. Di area paviliun seluas hampir 500 meter pesegi ini hadir berbagai karya dari studio arsitektur hingga studio kreatif seperti Format X Lunch for My Husband, KITAKITA Studio, Studio Hendro Hadinata, dan Aaksen Responsible Architecture. Di area terbuka dengan beberapa massa bangunan yang terpisah, dapat kita temui para perancang muda mencoba menyelami isu di sekitarnya dengan lebih intim. Terlihat pada karya Aaksen yang memikirkan secara mendalam dan asertif perancangan fasilitas umum berupa jembatan untuk masyarakat Kajang, juga beberapa studio lain yang mencoba lebih lekat dengan penggunaan material.

Menelusuri lebih dalam ke area dalam, ada instalasi menarik yang berdiri di tepi halaman belakang the Mawi. Berbaur dengan lapangnya ruang terbuka tempat rusa-rusa the Mawi bercengkerama, Format Studio berkolaborasi dengan Lunch for My Husband bereksperimen dengan instalasi modular sebagai kedai semi permanen yang menyajikan hidangan sandwich yang tematik.

Dalam instalasi ini Diaz Hensuk dan tim sebagai perancang menyajikan permainan fleksibilitas pada modul rangka dan lembaran baja berwarna hijau segar. Fleksibilitas itu bukan hanya dikemukakan secara lugas pada bentuk berulang, berderet, dan bersisian, tapi juga menyentuh fkelenturan pada dimensi dan ruang eksplorasi instalasi sehingga memungkinkan pengguna memanfaatkan modul dalam imajinasi dan kemungkinan yang sejauh-jauhnya.Keleluasaan ini akhirnya tidak mengekang ergonomi, juga dengan sangat rendah hati memfasilitasi berbagai kemungkinan unsur pendukung seperti pencahayaan, bukaan, sirkulasi, dan perangkat elektronik lain yang dibutuhkan pada area mungil berukuran 3×3 meter.

Instalasi Modular karya Studio Format

 

Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD) | Hotel Grand Kemang Jakarta Selatan

Seperti tahun sebelumnya, sebenarnya ICAD thun ini juga diselenggarakan di dua tempat berbeda yaitu di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan dan di kawasan Indonesia Design District, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Dengan partisipan yang berbeda, kuratorial tahun ini cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di mana karya tahun ini banyak melibatkan para pelaku seni dan perancang yang bergerak di luar studio.

Komunitas seperti Sepatokimin Initiative, Labtek Apung, Kampung Kolektif menghiasi daftar penampil yang membawa aroma segar bagi nafas berkesenian dan merancang di Indonesia. Sepatokimin menceritakan ulang apa yang mereka dapatkan dalam perjalanan mereka di berbagai daerah seperti Kalimantan dan Flores. Mereka juga berupaya menampilkan upaya mendokumentasikan aktivitas pengelolaan hutan adat dalam bentuk buku cerita bersama dengan instalasi audio. Di samping itu karya-karya yang memberi ruang bagi komunitas para Ibu di beberapa wilayah di Indonesia juga dibawa oleh Lusiana Limono dalam untaian benang dan kain yang bercerita.

Sementara itu Sebagian lain juga berbicara tentang urgensi isu lingkungan pada kawasan pemukiman di sekitar Jakarta. Kampung kolektif menceritakan proses berkolaborasi dengan masyarakat Kampung Kunir dalam membentuk fasilitas outdoor furniture dari bahan daur ulang sampah plastic untuk kegiatan berkumpul dan makan rujak bersama. Mereka juga mempertanyakan ulang bagaimana masa depan kampung kota di Jakarta. Lalu ada pula Labtek Apung dengan instalasi akuarium-akuarium berisi artefak penelitian mereka bersama Studio Pppooolll dan masyarakat di Muara gembong, menghantarkan narasi tentang relasi manusia dan non-manusia yang eksis di kawasan tersebut, juga bagaimana pencemaran yang terus berlangsung pada ekosistem air.

Salah satu instalasi yang juga menarik, yaitu kehadiran Interwoven Realities karya dari perancang muda Hilwa Alifa Azzahra dan Shauna Candra Dewi. Pada karya instalasi ini keduanya mengeksplorasi berbagai jenis anyaman sebagai media untuk mengaktivasi indera peraba. Temuan ini dapat digunakan sebagai penunjuk jalan bagi kaum difabel visual dan menjadi tawaran baru bagi pemanfaatan sumber daya lokal untuk memecahkan masalah hari ini.

Instalasi di ICAD Kemang

 

 

 

Merefleksi Kembali: Sebuah Pergerakan Kecil

Gelaran-gelaran besar tahun ini terasa sesak dipenuhi gagasan dan karya dari generasi muda perancang serta pelaku seni dan budaya berusia muda. Beberapa di antaranya menyajikan wacana yang menarik.
Jak Biennalle, misalnya membawa wacana kolektif yang bersikap kritis terhadap isu-isu hari ini. Hal ini juga mengangkat pentingnya kebersamaan, memberi tahu pada kita bahwa semangat kolektif di Indonesia telah tumbuh secara perlahan, namun tetap bertahan untuk menjadi subur, tersebar dari pelosok timur hingga ke ujung barat, menegaskan eksistensi dan posisi diri yang bersama-sama dihayati. Baku Konek menjadi ajang bertukar narasi, kacamata baru, dan aktualisasi nilai-niliai yang selama ini dibawa bersama-sama. Sekali lagi, menegaskan pentingnya membentuk serta merawat ekosistem ketimbang luaran yang bersifat sementara dan individualis.

Di gelaran ICAD, instalasi “Interwoven Realities” menjadi salah satu yang mengundang haru. Bermunculannya inisiasi kaum muda dan kepekaan terhadap isu sosial yang seharusnya memang sedekat itu dengan dunia desain menjadi kebahagiaan tersendiri saat berkeliling di pameran ini. Juga karya beberapa seniman, peneliti, dan perancang yang meletakkan relasi dengan kehidupan sehari-hari serta isu kemanusiaan, banyak sekali karya yang berbicara tentang artefak, temuan dan perjalanan di daerah terluar Indonesia, material alternatif yang digunakan secara masif, desain partisipatif yang mengangkat isu kebencanaan, hingga inklusivitas berkarya. Rupa desain, sebuah kolektif desain asal Bandung menyajikan wacana konteks desain dengan potensi kebencanaan Sesar Lembang , mempertanyakan bagaimana desain berperan di dalamnya juga turut dihadirkan pada instalasi di Lantai 2 Hotel Grand Kemang, Jakarta. Urgensi desain kini memang perlu disadari secara bersama-sama sebagai salah satu cabang ilmu yang sangat lekat dan tumbuh berdampingan dengan kehidupan kita sehari-hari. Di sanalah perancangan lahir sebagai sebuah gagasan yang memiliki posisi berbeda, “Desain yang Kontekstual”.

Desain dan kesenian kontekstual hadir menjadi subjek yang lebih bertanggungjawab atas semua bentuk visual yang akhirnya muncul. Tanpa mengesampingkan selera dan keinginan dari pemilik, Scala design mencoba persuasif sekaligus membuka ruang diskusi yang pada akhirnya tidak selalu tentang bangunan fisik semata. Sebuah pendekatan kecil yang amat patut diapresiasi dan dirayakan, mengingat generasi yang akan datang akan menghadapi tantangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Tentu saja, cara menangani setiap permasalahan desain dan pendekatan yang dilakukanpun tidak lagi dapat sepenuhnya mengikuti apa yang sudah dipraktikkan pada generasi sebelumnya.

Pada sisi lain dan di tempat yang berbeda, upaya Diaz sebagai seorang perancang grafis untuk masuk memberikan nilai pada ruang, dapat menjadi sebuah nilai bagi perkembangan industri mebel. Karya modular yang ditelurkan Format studio dapat dibaca sebagai pergerakan yang menandai telah bergesernya tren manusia urban kiwari ini. Dengan hadirnya karya ini seolah kita sudah jauh lebih siap dengan suguhan permasalahan kebutuhan, inisiasi, dan fasilitasi yang, lagi-lagi, sangat berbeda dengan masa sebelumnya yang penuh glamor, ekslusivitas, dan menegaskan kelas sosial pengguna desain. Pengguna seolah memperoleh ruang untuk bersama-sama perancang menentukan kebutuhannya, ada suara yang setara dalam sebuah proses perancangan. Merancang menjadi jauh lebih kolaboratif dan partisipatif. Karya-karya seperti ini memperlihatkan inklusivitas sekaligus menjadi pemantik untuk kita bertanya, “Seperti apa posisi desainer sebagai penawar solusi di masa kini?”.

Berkeliling ketiga pameran yang mungkin tanpa sengaja di gelar dalam waktu yang berdekatan, telah memberikan pembacaan baru atas eksistensi dan masa depan seni, dan desain di masa depan. Ada beberapa poin penting dari ketiganya yang ketika disarikan, kita mampu memahami hari ini kita sedang bersama-sama bergerak. Pucuk jarum kompas dunia merancang dan industri budaya hari ini sedang meraba mencari arah dan sumbu yang baru, mengikuti intuisi magnet mana yang paling kuat menariknya. Ada konteks kebersamaan dalam kolektif, kolaborasi, kedekatan dengan isu sosial baik di kota maupun di wilayah yang jauh di tepian nusantara, juga ada semangat fleksibilitas dan partisipasi pada pendekatan yang telah lama berkarat di dalam kunci-kunci metode. Ada semangat kesetaraan dan suara yang sama-sama di dengar melalui corong inklusivitas, memanfaatkan sumber daya pada konteks yang tepat. Memikirkan ulang secara bersama, sebagai insan seni, budaya, dan perancangan hari ini; Untuk siapa kita berkarya, dengan cara apa, dan bagaiama mempertanggungjawabkannya?

Terakhir, hanya ada satu harapan bahwa ke depan kita mampu menyadari kita sudah ada di dalam jangka yang sama. Tugasnya hanya bagaimana esok kita bergerak bersama seirama, bersedia dengan telinga terbuka mendengarkan satu sama lain dan membuka ruang-ruang ini lebih lebar di bangku-bangku sekolah seni dan desain, juga memberi ruang bagi waktu untuk mengukir sejarah baru bagi pergerakan desain di Indonesia. Menutup tulisan ini saya ingin mengutip mendiang A.D. Pirous yang disematkan pada penghujung pameran Tribute to A.D Pirous di ICAD, Bara Lalu, Menyala Kini , “Time has energy. It can change everything.” Tidak sabar rasanya menyaksikan ke mana gerakan ini akan bermuara.