Representasi Warna: Menanda Karya Visual dalam Pergerakan Politik dan Sosial
Teks: Christianto Roesli dan Siti Chadijah
Tuntutan Rakyat 17+8 menghiasi media digital selama Agustus 2025 (sumber foto: Siti Chadijah)
Mungkin sebagian dari kita kita cukup mudah untuk mengigat peristiwa Mei 1998 atau meninggalnya aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said, hanya dengan melihat poster bergambar siluet wajah seorang pria dalam format warna hitam dan putih. Atau mungkin kita juga dengan sedikit meraba, kita mengingat mata pelajaran sejarah mempelajari jejak kekuasaan Jepang di Indonesia saat melihat poster berlatar hitam dengan tiga huruf A kapital bersusun menyerupai segitiga. Kehadiran karya visual pada berbagai fenomena di masyarakat seringkali digunakan menjadi media bagi pergerakan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia dari masa ke masa. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari berkembangnya tipografi, penggunaan warna, serta komposisi visual.
Pergerakan Sosial Politik dan Kekuatan Media Sosial
Di era digital kiwari ini, karya visual pada media sosial juga turut andil dalam berbagai pergerakan. Dimulai dari respons masyarakat di dunia maya pada Agustus 2024 dengan munculnya konten “Peringatan Darurat”, sebuah poster digital berlatar warna biru dengan outline lambang garuda sebagai titik fokus. Gerakan digital yang mulanya diangkat para pemengaruh/ influencer ini semakin luas menyebar pada status media sosial sebagian masyarakat. Secara cepat, media digital mampu menyampaikan konteks permasalahan sosial dan politik melalui identitas visual. Hasilnya, pergerakan yang berhasil mengambil perhatian warganet lebih dari seminggu ini sukses memantik berbagai aksi serta pernyataan sikap yang pada akhirnya menggagalkan disahkannya revisi UU Pilkada oleh DPR.
Akhir bulan Agustus 2025, gejolak yang serupa kembali terjadi, bahkan lebih massif. Gejolak ini merupakan momentum sekaligus ledakan dari tumpukan keresahan masyarakat Indonesia selama lebih kurang 9 bulan kepemimpinan Presiden ke-8 Prabowo Subianto. Perubahan signifikan pada dinamika perekonomian di keseharian masyarakat, khususnya kelas menengah, menjadi awal penanda dimulainya kritik tajam pada kebijakan pemerintah sebagai pemangku ranah eksekutif di negeri ini. Permasalahan tidak usai ketika lembaga legislatif juga turut menelurkan berbagai kebijakan dan pernyataan nirempati para pejabat publik terhadap kondisi masyarakat. Respons yang muncul tidak hanya di ibukota Jakarta, melainkan juga di kota-kota lain di seluruh penjuru negeri.
Hiruk pikuk gejolak itu mencapai puncak pada 28 Agustus 2025, saat demonstrasi berujung duka di sekitar kawasan Gedung DPR RI. Pada saat itu seorang pengemudi daring bernama Affan Kurniawan meninggal dunia akibat tindakan represif petugas kepolisian. Gelombang demonstrasi semakin besar selepas peristiwa ini. Beberapa mata kamera menangkap aksi yang menguasai dunia sosial media, di antaranya seorang ibu paruh baya mengenakan jilbab perwarna merah muda tampil sebagai ikon menghadapi petugas kepolisian yang berjaga menggengam tameng. Pada arus selanjutnya, kedua tokoh ini menjadi simbol dari pergerakan akhir Agustus kelabu, melawan berbagai kebijakan pemerintah melalui “Tuntutan 17+8”. Sebagaimana simbol “Peringatan Darurat”, simbol yang muncul bukan dari ketokohan semata, namun melalui identitas warna yang dipinjam oleh publik dalam menyuarakan kegelisahannya. Jika dahulu warna yang muncul pada karya visual pergerakan didominasi oleh kemampuan produksi dan ketersediaan ragam warna pada zamannya, hari ini karya visual itu tumbuh dari representasi yang paling dekat dengan warga masyarakat.
Kartu warna Pantone, yang digambarkan melalui beberapa ikon pergerakan. Dari kiri: resistance blue (sumber X. com/Eko Nugroho), brave pink (sumber: liputan6.com), dan hero green (sumber: liputan6.com)
Simbol Warna sebagai Penanda
Kehadiran kombinasi warna merah muda (pink), hijau, dan biru memunculkan pemaknaan baru saat sebagian besar masyarakat digital secara tidak tertulis sepakat menggunakan kombinasi warna dalam pergerakan. Hal ini terlihat dari masifnya penggunaan kombinasi warna tersebut pada foto profil, konten poster, sampai fitur reels dan story di berbagai platform. Apapun kontennya, apapun isi dari materi digitalnya, dua sampai tiga warna tersebut hadir sebagai pernyataan sikap. Namun apakah penggunaan warna-warna tersebut dapat dijelaskan, baik secara pemaknaan (semiotika) maupun secara teoritis?
Pada umumnya, kombinasi warna yang diaplikasikan pada karya desain mengacu pada roda warna sebagai bantuan perancang memadu padankan makna pada simbol warna[4]. Panduan ini menjadi penting, khususnya untuk kebutuhan representasi, seperti makna yang berupa suasana yang ingin ditimbulkan dari kombinasi warna tersebut, Roda warna menjelaskan spektrum warna dan membaginya menjadi 12 bagian yang kemudian dapat dikategorikan sebagai kelompok warna hangat (spektrum merah ke kuning) dan kelompok warna dinging (spektrum biru ke hijau). Masing-masing irisan warna juga dapat menghasilkan turunan warna lainnya sehingga ragam warna menjadi sangat variatif.
Kategori 12 rona warna (dalam format RGB) disertai notasi (sumber: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7040535/figure/rth212308-fig-0001/).
Pada pergerakan “Tuntutan 17+8”, masyarakat digital sepakat memunculkan kombinasi warnaa biru dari “Peringatan Darurat”, merah muda atau pink menyala dari jilbab seorang ibu yang berpartisipasi sebagai demonstran, serta hijau cerah yang diambil dari warna seragam pemngemudi daring korban aksi. Gerakan ini kemudian disebut resistant blue, brave pink, dan hero green sebagai representasi dari berbagai makna dalam peristiwa yang terjadi. Dalam teori warna, kombinasi ketiganya juga dapat dijelaskan sebagai bagian dari komposisi split complementary. Komposisi ini memiliki aturan memilih satu warna dasar kemudian merefleksikannya pada dua warna yang berada di seberangnya. Gambar di bawah ini memperlihatkan gambaran penggunaan split complementary pada warna merah muda. Dua warna yang dihasilkan dari warna dasar merah muda dengan komposisi ini menghasilkan dua warna lainnya yaitu hijau terang dan cyan. Warna yang muncul ini dapat berkembang dengan penambahan tint dan tone berupa warna hitam atau putih sehingga masing-masing warna menghasilkan corak yang lebih gelap atau lebih terang. Kombinasi warna-warna ini dapat diimplementasikan para perancang agar lebih mudah menghantarkan pesan dalam bentuk karya desainnya.
Split complementary pada warna dasar pink (sumber: https://baselinehq.com/4-structure-of-colour-palettes.html)
Lebih jauh, berkenaan dengan makna kita dapat meminjam sistematika simiotika ala Roland Barthes dengan meletakkan denotasi dan konotasi sebagai bagian dari perluasan makna melalui petanda dan penanda. Warna merah muda memiliki petanda peralatan kosmetika dan bunga-bunga yang dapat dikonotasikan dengan sesuatu yang feminin. Sementara pada demonstrasi di akhir Agustus 2025, keberadaan warna merah muda hadir sebagai kontras dengan keberanian seorang Ibu saat menghadapi barikade polisi. Di sini warna merah muda memiliki petanda baru yaitu keberanian, sehingga muncul label Brave Prink sebagai simbol pergerakan yang berani melawan pada ketidak adilan. Hal yang sama juga terjadi pada penanda warna hijau sebagai denotasi rumput dan tumbuhan, kini hadir dalam konotasi yang melambangkan perjuangan pada simbol green hero. Warna biru pun demikian, dengan petanda laut dan langit, resistance blue memberi makna kekuatan yang mendalam, tidak mudah digoyahkan.
Referensi:
https://baselinehq.com/4-structure-of-colour-palettes.html
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7040535/
https://www.researchgate.net/publication/325391700
Barthes, Roland, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.
https://www.kompas.id/artikel/ancaman-ekonomi-2025-bagaimana-kelas-menengah-bertahan. Diakses September 2025
https://www.tempo.co/ekonomi/ppn-12-persen-tidak-sesuai-syarat-parameternya-jika-mulai-1-januari-2025-ini-rinciannya-1187491. Diakses September 2025
https://www.beritasatu.com/bplus/2921078/dpr-berada-di-titik-nadir. Diakses September 2025




Comments :