Merefleksi Karya Desain dan Keahlian Ketukangan Kayu dalam Kunjungan “Kigumi in the Kampung”
Teks & foto:
Sabrian Ibrahim | Haris Ardianto | Rennata Rihendes | Siti Chadijah
Hari itu Rabu tanggal 10 September 2025, langit Cikini sedang cerah, tidak terlalu berawan. Udara juga tidak terlalu terik, cuaca yang sangat cocok untuk beraktivitas di luar. Tidak jauh dari Stasiun Cikini, di Kampung Cikini sedang diselenggarakan acara perayaan kolaborasi Universitas Indonesia dan The University of Tokyo, Jepang. Di dalam rangkaian acara itu terdapat seminar sekaligus pameran karya kolaborasi para akademisi dengan warga Kampung Cikini. Pameran itu bertajuk “Kigumi in the Kampung”, sebuah acara yang terselenggara juga berkat kerjasama Japan Foundation bersama Kampung Kolektief. Kampung Kolektief merupakan kelompok para desainer muda Indonesia yang pernah menjadi alumni kegiatan serupa dari the Dutch Embassy tahun lalu. Kini mereka aktif berkegiatan dan mengaktivasi warga kampung kota, termasuk Kampung Cikini ini.
Kami berjalan sekitar 3 menit dari gerbang kampung, masuk ke dalam balai warga sederhana. Di sana sudah penuh para peserta seminar memenuhi ruangan berukuran sekitar 30an meter persegi itu. Di dalam ruangan, seorang pria muda berkemeja kota-kotak sudah siap membawakan peragaan dan penjelasan mengenai konsep Kigumi. Ia dipanggil sebagai sensei, Daichi-san kemudian para peserta yang hadir menyapa nya. Untuk menjelaskan, Daichi-san dibantu oleh seorang mahasiswa The University of Tokyo yang sudah lebih dari setengah tahun menjalani residensi di kampung Cikini. Ia bernama Mone Kitazato.
Kigumi sendiri merupakan teknik konstruksi kayu yang berasal dari Jepang. Secara bahasa, Kigumi berarti sambungan kayu. Teknik ini menjadi menarik karena sambungan kayu dibuat tanpa menggunakan paku atau lemm sama sekali. Berbekal akurasi ukuran serta kerapian pada pengerjaannya, kekuatan dan kekokohan justru dicapai melalui ketepatan potongan dan saling mengunci bagian-bagian kayu itu. Sambungan Kigumi terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu Tsugite dan Shiguchi. Tsugite untuk menyambung kayu secara memanjang (dari ujung ke ujung), dan Shiguchi untuk menyambung kayu pada sudut, seperti pada tiang atau balok. Di dalam seminar itu kami turut menonton dokumenter dan mempelajari bagaimana teknik kigumi dilakukan. Daichi-san menceritakan awal mula ketertarikannya pada dunia ketukangan kayu (wood craftsmanship) sejak mengenyam pendidikan arsitektur. Meski memiliki latar belakang pendidikan formal, Daichi-san sendiri sudah dua tahun fokus bekerja bergelut dengan kayu untuk merevitalisasi rumah-rumah tua di kampungnya. Dengan teknik Kigumi, Daichi-san turut serta melestarikan lansekap arsitektur di pedesaan sekaligus keahlian perkayuan tradisional Jepang. Sambungan ini juga menjadi praktik desain dan kriya yang fungsional. Karena Jepang rawan gempa, sambungan Kigumi dirancang agar kuat dan fleksibel, memungkinkan kayu bergerak sedikit saat gempa, sambungan ini dikunci dengan pasak kayu kecil yang bisa dilepas, memudahkan perbaikan tanpa merusak keseluruhan struktur. Dalam seminar ini para peserta juga diajak mencoba berbagai peralatan perkayuan manual yang dibawa langsung oleh Daichi-san dari Jepang. Seminar ini juga menunjukan komparasi alat yang digunakan oleh pengrajin Jepang dan Indonesia yang dikolaborasikan dan menukar pengetahuannya. Para narasumber memberikan tips dan trik dari memotong, membelah, dan memahat kayu secara detail dan juga memberi kesempatan para peserta untuk mencoba alat kerajinan dari Jepang.
Daichi-san (kiri) sedang mempraktikkan teknik memotong kayu a la Jepang. Mone (kanan) dan bangku-bangku hasil lokakarya.
Suasana seminar dan lokakarya di balai warga.
Selepas seminar usai, sebagian peserta mengikuti lokakarya membuat bangku sederhana dengan teknik Kigumi. Tidak hanya berbahan dasar kayu, lokakarya ini juga turut mengeksplorasi material yang kerap digunakan warga kampung dalam berbagai kebutuhan. Ialah material baja ringan, material ini dikombinasikan dengan teknik Kigumi sebagai bagian tambahan, sementara itu bagian struktur sepenuhnya mengandalkan sambungan kayu khas Kigumi.
Sementara itu sebagian dari kami melanjutkan perjalanan dengan melihat-lihat pameran yang dihelat di lantai atas balai warga kampung Cikini. Pameran sederhana itu menampilkan berbagai kreasi sambungan kayu menggunakan teknik Kigumi, sambungan sederhana dengan trik buka-tutup yang terlihat sangat menyita konsentrasi, namun menyegarkan saat berhasil melakukan bongkar-pasang pada sambungan kayu itu. Di sudut lain terpampang berbagai kolaborasi warga, arsitek, dan para akademisi baik dari Indonesia maupun Jepang. Karya-karya itu berkontribusi pada perkembangan kampung, melekat pada keseharian warga.
Suasana pameran di lantai atas balai warga.
Tidak puas hanya melihat poster, kami juga berkeliling kampung, berkenalan dengan orang-orang baru sesama pengunjung, ditemani Mone, teman-teman dari Kampung Kolektief, dan Daichi-san, menyapa warga. Kami berkunjung ke bangunan sederhana yang sering dimanfaatkan sebagai area baca bagi anak-anak. Di sana terlihat hasiil eksplorasi dan kolaborasi warga dengan para akademisi; mengecat, memadu padankan warna, menyusun untaian kain-kain bekas menjadi bagian ceiling, bench yang dirangkai dengan besi siku, ditutup kawat besi lalu diisi dengan puing bekas bongkaran rumah, lalu bagian atasnya dipadu dengan keramik sebagai area duduk. Ini merupakan contoh konkret dari daur ulang dan keberlanjutan dalam desain melalui bangunan yang berfungsi sebagai ruang komunal dan membuktikan bahwa bahan sisa dapat diubah menjadi ruang yang baik secara visual dan bermakna untuk interaksi sosial.
Berkeliling kampung dan menyapa warga.
“Bagi saya, pengalaman ini sangat pribadi dan membuat saya banyak berpikir. Sebagai calon desainer interior, kita sering kali hanya fokus pada estetika dan tren, tetapi Kigumi di desa ini membuat saya sadar dan mengingatkan saya pada esensi bahan dan proses.”
“Saya benar-benar terkesan dengan seberapa presisi, sabar, dan teliti setiap potongan kayu diolah. Saya juga terkesan dengan bagaimana limbah kayu dapat “dihidupkan kembali” menjadi sesuatu yang baru dan berguna, serta bagaimana sambungan tanpa paku bisa begitu kuat. Hal ini benar-benar membuka mata saya tentang konsep keberlanjutan dan keaslian dalam desain. Desain bukan hanya tentang menciptakan ruang yang indah. Ini juga tentang menghargai bahan, menghormati tradisi, dan membangun sesuatu dengan ‘jiwa'”— Sabrian Fikri Ibrahim
“Kunjungan ini menjadi pengalaman yang berharga bagi saya. Menyaksikan bagaimana desain dapat berfungsi bukan sekadar sebagai estetika, melainkan juga sebagai sarana komunikasi budaya. Suasana yang tercipta di pameran membuat saya berpikir kembali pentingnya konteks lokal dalam proses desain bahwa desain yang baik bukan hanya indah dilihat, tetapi juga mampu merangkul nilai dan identitas masyarakatnya. “
“Selain menikmati karya yang dipamerkan, saya juga mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang berbeda desainer, mahasiswa, hingga warga setempat yang hadir dengan antusias. Percakapan singkat dengan mereka membuka wawasan baru tentang bagaimana desain bisa diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kunjungan ini memberi saya motivasi baru untuk terus belajar, serta keyakinan bahwa sebagai seorang calon desainer interior, karya yang saya ciptakan nantinya harus mampu menyentuh, menghubungkan, dan memberi arti bagi banyak orang.” — Haris N. Ardianto
“Dari pengalaman ini kami yang datang, mengunjungi dan mengamati kampung ini mendapatkan banyak pembelajaran dimana kerja sama dan kreativitas oleh warga kampung dan mahasiswa dari luar negeri pun dapat berkolaborasi dengan baik menciptakan harmoni yang baru dengan adaptasi dan tolerasi yang tinggi menjadikan kampung di Cikini ini mendapat perhatian serta menjadi inspirasi untuk kampung lainnya. Saya memandang hal ini sebagai Interior Designer bagaimana pemanfaatan & penghematan bahan dengan teknik ala Jepang membantu proses pembangunan menjadi lebih efisien pada furnitur atau sebagai pembantu penyanggah sebuah konstruksi pada bangunan atau sebuah fasilitas di Kampung Cikini ini. Pengalaman yang menarik serta menyenangkan dapat berdiskusi dan mendapat ilmu baru pada pameran kali ini.”— Rennata Capriana Rihendes



Comments :