Melestarikan Jejak Tionghoa di Jantung Jakarta: Kajian Adaptasi Gereja St. Maria de Fatima dan Candra Naya
Jakarta, sebagai ibu kota yang multikultural, menyimpan kekayaan sejarah dan arsitektur yang luar biasa, salah satunya adalah keberadaan bangunan-bangunan warisan Tionghoa. Bangunan ini bukan sekadar struktur fisik, melainkan saksi bisu dari jejak perjalanan panjang komunitas Tionghoa dalam membentuk identitas kota. Dua ikon penting yang menjadi sorotan dalam konteks pelestarian budaya adalah Gereja St. Maria de Fatima dan Candra Naya
Sebuah penelitian dari BINUS UNIVERSITY mengupas tuntas sejauh mana konsep adaptasi bangunan cagar budaya diterapkan pada kedua situs bersejarah ini, sekaligus melihat perubahan yang terjadi setelahnya. Penelitian ini dipimpin oleh Nazilah Abdullah, S.Sn., M.Ds., bersama tim nya yaitu Akmalia S.Sn, M.Ds, Dr. Suyin Pramono, dan Patricia Penina Adele S.Sn, M.Ds
Adaptasi diartikan sebagai upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masa kini, namun dengan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan hilangnya nilai penting bangunan. Tim peneliti mencatat bahwa keduasitus ini merupakan representasi nyata dari interaksi antara budaya Tionghoa dan budaya lokal di Jakarta.
Gereja Katolik Santa Maria de Fatima, misalnya, merupakan salah satu gereja tertua di Keuskupan Agung Jakarta. Bangunan ini berawal dari sebuah rumah tinggal bergaya arsitektur asli Tionghoa yang kemudian beralih fungsi menjadi gereja, sebuah proses yang dikenal sebagai adaptive reuse. Sementara itu, Candra Naya, yang dibangun pada akhir abad ke-19, juga terus mengalami pelestarian di tengah dinamika isu politik, ekonomi, dan sosial budaya di kota Jakarta.
Upaya pelestarian ini, yang dikategorikan sebagai adaptasi, sangat penting untuk mempertahankan nilai sejarah agar generasi mendatang dapat mempelajarinya. Melalui penelitian ini, yang menggunakan metode deskriptif kualitatif, diharapkan wawasan mengenai pelestarian bangunan bersejarah semakin luas. Kedua bangunan tersebut membuktikan bahwa akulturasi dan adaptasi adalah kunci dalam menjaga keragaman dan keharmonisan multikultural di ibu kota.
#SOD #binusresearchpoint #heritage #Jakarta #desaininterior #culturalheritage #glodok #arsitekturtionghoa #candranaya
References
[1] Lubis F 2018 Jakarta : 1950 – 1970 ed E Sutanto (Depok: Masup)
[2] Thamrin D, AriCianto F, Kristen U and Surabaya P ± KERAGAMAN BUDAYA TIONGHOA PADA INTERIOR GEREJA KATOLIK (Studi kasus: Gereja Santa Maria De Fatima di Jakarta Barat)
[3] Kosasih R I, Haryono T, Nugraha W, Seni P, Dan P and Rupa S PERUBAHAN FUNGSI PADA ORNAMEN TIONGHOA GEREJA SANTA MARIA DE FATIMA JAKARTA vol 06
[4] Widayati N 2003 Candra Naya Antara Kejayaan Masa Lalu dan Kenyataan Sekarang (Hasil Penelitian Tahun 1994-1998) Dimensti Teknik Arsitektur 31 88–101
[5] Banks J A 1989 Integrating the curriculum with ethnic content: Approaches and guidelines Multicultural education: Issues and perspectives 189–207
[6] Umanailo M C B 2015 ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
[7] Damen L 1987 Culture Learning: The Fifth Dimension in the Language Classroom (Addison-Wesley Publishing Company)
[8] Khaliesh H 2014 Arsitektur Tradisional Tionghoa vol 1
[9] Heuken A 2003 Gereja-Gerja Tua di Jakarta (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka)
[10] Maria G, Ardana I and Thamrin D 2017 Kajian Adaptasi Gereja Katolik pada Interior Bangunan tionghoa Menjadi Gereja Santa Maria De Fatima Jakarta Jurnal Intra 5 117–26
[11] Raudhoh R S, Fadhila F and Andrianawati A 2022 Pengaruh Arsitektur Cina Pada Bentuk Pintu dan Jendela Bangunan Candra Naya vol 10
[12] Kuiper K 2010 The Culture of China (Britannica Educational Publishing)
[13] Juliansyah F, Hanifah N and Andrianawati A 2023 MAKNA ELEMEN ARSITEKTUR PADA BANGUNAN CANDRA NAYA Jurnal Vastukara: Jurnal Desain Interior, Budaya, da



Comments :