Teks: Siti Chadijah | Foto: Samuel Sariputra Satar dan Dila Hendrassukma

 

 “Di sini ada yang mau duduk di depan gak? Kenapa ya kalau kita hadir di seminar atau pertemuan, sebagian besar dari kita cenderung milih buat duduk di belakang?”.

Sekilas ruang kelas K2A Kampus Syahdan terasa hening sekalipun kelas hari itu penuh berisi 90an peserta Binusian B25 yang sedang menjalani tugas akhir di Jurusan Desain Interior BINUS University Jakarta.

Pertanyaan pemantik tersebut membuka paparan Bapak Prananda Luffiansyah Malasan, P.hD dalam Guest Lecturer Series yang khusus diberikan bagi mahasiswa tingkat akhir pada 5 Mei 2025. Meskipun terdengar sederhana, pertanyaan tersebut rupanya ditanggapi para mahasiswa secara malu-malu. Di antaranya melihat adanya rasa takut ataupun malu duduk di barisan depan karena khawatir akan diberi pertanyaan dan jawaban yang diberikan tidak sesuai ekspektasi penanya sehingga merasa aman duduk di belakang, agar tidak terlalu terlihat oleh pembicara. Namun, pertanyaan ini juga sebenarnya menjadi dasar bagi topik yang diangkat hari ini yaitu “The Future of Design: Evolving Disciplines and Emerging Possibilities” Topik ini ingin membuka diskusi dan melihat masa depan desain dari citra dan perspektif yang berbeda dari gambaran umum desain masa depan yang identik dengan teknologi. Bapak Prananda yang memiliki latar belakang Pendidikan desain produk dan antropologi mencoba membuka kebiasaan dan pandangan kita terhadap keseharian sebagai landasan kita melihat konteks desain.

Pernahkah kita berpikir untuk mendesain pos ronda di lingkungan tempat tinggal kita?

Sekali lagi Bapak Prananda bertanya kepada para mahasiswa yang hadir, ingin mendegarkan suara mereka dan bagaimana mereka melihat desain. Beliau menuturkan bahwa seringkali kita mengabaikan hal-hal yang terjadi di sekeliling kita, tidak melihatnya sebagai sesuatu yang istimewa. Sebagai desainer, kita kerap terperangkap pada visual yang bersifat persuasif sehingga menaggalkan kebutuhan yang esensial dan dekat dengan keseharian. Dicontohkan melalui pertanyaan di atas, bagaimana para peserta merespons ketika diberikan gambar serupa pos soskamling yang biasa ditemui di ujung jalan. Apakah ruang tersebut dapat disentuh oleh desain? Atau justru kita meletakkan konsep kelayakan pada objek keseharian kita; layak-tidak layak, visual berselera tinggi-murahan. Melalui contoh ini Bapak Prananda mengajak mahasiswa menyelami apa itu desain dari konteks yang paling dasar.

             Bapak Prananda Luffiansyah Malasan P,hD. membuka paparan dan diskusi bersama Binusian 2025.

Desain dan keseharian

Dalam paparannya, disajikan beberapa contoh benda keseharian. Salah satunya diberikan ragam bentuk sumpit yang ternyata memiliki bentuk, fungsi hingga material yang berbeda-beda dari masing-masing negara. Sumpit dari Jepang, misalnya, memiliki bentuk yang meruncing untuk mengakomodasi jenis makanan yang berasal dari laut, sementara sumpit dari Korea bermaterial perak atau logam untuk membantu mengidentifikasi kandungan racun atau arsenic di dalam hidangan yang akan dimakan. Dari contoh tersebut diperoleh kaitan antara desain, keseharian, dan bagaimana hal tersebut membentuk kebudayaan. Karena itu, semua artefak tidak lepas dari konteks kebudaayan yang pada akhirnya juga membentuk desain sebagai sesuatu yang unik dan tidak dapat diseragamkan.

Lebih jauh Bapak Prananda menjelaskan bahwa keseharian itu bersifat poliritmik. Kehadirannya sangat dinamis dan beriringan bersama satu dengan yang lainnya. Di sisi lain, desain sendiri merupakan bagian dari keseharian. Kehadiran desain tidak dapat lepas dari rutinitas sehari-hari masyarakat dari setiap zaman. Di sinilah desain berkorelasi erat dengan masa depan sebuah kelompok masyarakat. Seperti tumbuhan, desain adalah tanah bagi kreativitas, yang merupakan unsur utama bagi berkembangnya sebuah kebudayaan. Dengan kata lain, menyadari desain sebagai bagian yang lekat pada keseharian membuat kita mampu membaca serta membentuk masa depan kebudayaan kita sendiri.

Di negara-negara seperti Jepang, Singapura, dan Thailand, Bapak Prananda mencontohkan, desain telah mendapatkan tempatnya dan sangat disadari kemelekatannya dengan konteks keseharian. Hal ini terlihat dari Design Week dan pergelaran pameran karya desain yang diselenggarakan secara rutin serta terciptanya badan yang fokus mengurus ranah desain dan kreativitas seperti Creative Economy Agency (CEA) di Thailand.

Bukan hanya secara kelembagaan, pada praktiknya para desainer Thailand juga telah mampu membaca ruang-ruang kosong dari kehadiran konteks keseharian di dalam bentuk desain mereka. Dalam gelaran Bangkok Design Week 2023, salah satu pengkarya yang menarik perhatian Bapak Prananda yaitu instalasi karya bertajuk “The Forgotten Dimension”, di mana para desainer melakukan riset dan merekam dimensi-dimensi khas dari akar budaya mereka yang kerap terlupakan. Sebut saja posisi tubuh beserta dimensi manusia yang terbentuk pada saat pedagang kaki lima duduk menjajakan dagangan, atau dimensi serta postur tubuh pedagang makanan tradidional keliling saat mereka memikul perangkat dagangannya. Melalui riset ini kelompok desainer tersebut ingin menghadirkan kembali nafas budaya yang menjadi identitas mereka sebagai orang-orang Siam. Tentu saja dengan menyadari hal ini, hasil riset tidak hanya akan terhenti pada poster dan buku-buku, melainkan digunakan secara terus menerus di dalam desain kontemporer yang dapat digunakan secara praktis dalam keseharian mereka.

Menariknya, saat desain telah menemukan citra dan nafasnya, posisi desain tidak lagi sekadar menjadi penawar solusi dengan jargon estetika dan fungsi, namun juga dapat menjadi bentuk lain yang lebih luas dalam design diplomacy, sebagaimana diceritakan kembali oleh Bapak Prananda melalui transformasi lembaga yang digagas oleh Taiwan Design Center menjadi Taiwan Design Research Institute.

Desain yang berdampak

Hannes Meyer, seorang arsitek sekaligus direktur sekolah desain Bauhaus pernah mengemukakan “12 points of basic design”, di mana keduabelas poin yang dimaksudkan seluruhnya mengena pada aktivitas mendasar manusia yang terhubung pada kualitas hidup dalam kesehariannya seperti kebiasaan tidur, kebersihan di dalam lingkungan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Dari sana, muncul pertanyaan, Jika desainer bisa memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik, mengapa sedikit dari desainer yang memilih untuk berkontribusi pada hal- hal keseharian? Merespons in Bapak Prananda mengaitkannya dengan transdisciplinary design yang menjadi tantangan dunia desain hari ini. Di dalamnya dapat diterapkan systemic design approach sehingga konteks permasalahan yang complicated dapat diurutkan secara lebih terstruktur. Hal ini memudahkan kita mengenal pola yang sedang bekerja pada suatu permasalahan. Pada kenyataannya tidak semua masyarakat desain, khususnya di Indonesia mampu menyadari dan mapan untuk memahami serta mengkonstruksi isu ini lebih dalam sehingga mencapai solusi yang berdampak.

Dalam penerapannya, Bapak Prananda mencontohkan beberapa upaya yang dilakukan dalam mendekatkan desain yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.  Bersama dengan mahasiswanya, Bapak Prananda mencoba pendekatan desain dalam mensosialisasikan potensi kebencanaan Sesar Lembang melalui proyek “Buana”. Di dalamnya, masyarakat sekitar diajak untuk turut berpartisipasi dalam proses menerjemahkan pengingat dan ajakan mitigatif terhadap potensi bencana di sekitar kawasan Bandung melalui pendekatan visual. Menariknya, produk hasil luaran dari kegiatan ini berupa benda-benda keseharian yang digunakan oleh masyarakat sendiri, seperti korek api berisi petikan kata-kata untuk mengingatkan ketika terjadi gejala gempa, hingga sarung dengan motif dan tulisan serupa.

Dalam proyek lain, Bapak Prananda menceritakan inisiatif Museum Benda yang digagas pada masa pandemi Covid-19 sebagai bagian dari ITB Design Center. Museum benda berupaya mendokumentasikan berbagai benda keseharian yang kita gunakan sehari-hari hingga ke pelosok wilayah nusantara secara digital. Dalam proses pengumpulan artefak, Museum Benda tidak mengambil objek dari sumbernya. Dengan cara ini pelestarian benda tetap dapat dirawat, dimiliki, dan diwariskan oleh para perajin, pemilik, maupun pewaris benda tersebut.

Desain dan keseharian, sebagai bagian yang dekat dalam praktik desain untuk dampak sosial dan lingkungan. 

 

Pijakan desain masa depan

Melalui contoh-contoh yang dipaparkan Bapak Prananda menegaskan bahwa desain mempunyai power atau kekuatan untuk mentransformasi dari yang tidak ada menjadi ada. Desain juga bukan hanya tentang fungsi dan estetika, melainkan lebih jauh menyentuh nilai kebermaknaan. Di sini desain berfungsi bukan hanya sebagai tool atau metode, namun juga berdampak secara moral.

Dalam sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan dari para peserta Binusian 2025 secara mendalam mengungkapkan kritisi pada peran desainer di masa depan, yang kerap dihadapkan pada realitas akan kebutuhan kapital, namun juga ingin berkontribusi untuk isu-isu sosial dan lingkungan. Selain itu, juga pandangan bagaimana teknologi berperan dalam penerapan desain di masa depan juga menjadi perhatian para penanya.

Menjawab hal tersebut, Bapak Prananda meminjam gambaran Bordieu dalam bukunya, “The Forms of Capital”, bahwa sesungguhnya kapital sendiri terbagi tiga yaitu mencakup ekonomi, sosial, dan kultural. Sayangnya, kita sering memandang kapital semata hanya dalam bentuk ekonomi sehingga tugas kita hari ini adalah mencari titik ekuilibrium di antara ketiganya, tidak hanya satu aspek saja. Lebih jauh, Bapak Prananda menggambarkan bagaimana jika kita mengalokasikan setidaknya 2,5% dari waktu yang kita miliki untuk bekerja secara rutin, tentu kontribusi desainer pada aspek kapital lain sangat mungkin untuk diwujudkan. Demikian pula dengan kehadiran teknologi di dalam kehidupan kita sekarang ini, perlu dipandang sebagai alat bantu. Kehadirannya dapat membantu menyelesaikan berbagai kebutuhan dan proses desain, namun tidak untuk menggantikan peran desainer sepenuhnya. Oleh karena itu kepekaan desainer di masa kini pun harus terus diasah agar dapat menghasilkan solusi yang praktis dan berdampak di tengah kemajuan teknologi.

Untuk mencapai ini, sebagai mahasiswa desain kita perlu melihat apa yang ada di sekitar kita sebagai referensi utama. Dalam konteks ini, Bapak Prananda menutup dengan mengingatkan bahwa, sebagai desainer, laboratorium yang sebenarnya adalah ketika kita menginjakkan kaki ke luar kampus. Maka dari itu, mahasiswa sebagai insan desain di masa depan perlu terus menyadari makna dan perannya di dalam masyarakat.

Sesi tanya jawab oleh mahasiswa dan foto bersama